Selasa, 13 Juni 2017

Hiduplah Seperti Seorang Musafir

Standard


Pernah menjadi seorang musafir? Kemungkinan besar kita semua pernah menjadi musafir. Singkatnya, musafir itu orang yang menempuh suatu perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain.

Ketika kita berniat melakukan safar (perjalanan) menunaikan ibadah umrah misalnya, tentunya kita sudah mengetahui tempat tujuannya. Sebelum berangkat pun, pasti kita sudah menyiapkan segala sesuatunya. Selain utamanya kesiapan ruhiyah, hal yang cukup penting tentunya memilih travel yang terpercaya.

Kita berani membayar mahal untuk memastikan agar segalanya lancar. Mulai dari yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah, transportasi, akomodasi hingga konsumsi, agar berjalan dan tersedia dengan baik.

Hal berikutnya tentu perbekalan yang cukup. Bekal yang cukup ini sangat penting, mengingat jika kita kekurangan bekal, sengsara sudah di depan mata.

Bagi seorang musafir, tentu dia tidak akan menjadikan perjalanannya sebagai tujuan. Senyaman dan seindah apapun perjalanan, bagi seorang musafir perjalanan tetaplah perjalanan, tak ada orang yang betah selamanya di dalam perjalanan hingga lupa tujuan.

Pernah lihat musafir bawa kulkas selama perjalanan? Bawa lemari atau mesin cuci selama perjalanan? Pasti belum pernah kan? Musafir itu paling juga bawa ransel atau kantong yang cukup, hanya membawa kebutuhan selama perjalanan, itu saja, tidak lebih!‎

Bagi orang yang melakukan perjalanan umrah, waktu perjalanan hanya sekitar 9-10 hari. Sehingga yang diperlukan cukup menyewa hotel saja, tak perlu hingga membeli rumah atau apartemen.

Dalam kehidupan nyata saat ini, ternyata banyak orang yang lupa. Mereka menganggap dunia ini adalah tujuan akhir, atau kehidupan yang sesungguhnya. Sehingga mereka rela melakukan apapun untuk mendapatkannya, menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, bukan untuk menggapai akhirat, tetapi mencari dunia untuk kesenangan dunia.

Bukan berarti bahwa kita tidak boleh mencari banyak harta, justru harus!! Tapi jangan sampai energi, perhatian dan harta kekayaan tersebut lebih banyak dihabiskan untuk kesenangan dunia, karena itu ibarat seorang musafir yang lebih memikirkan kesenangan di perjalanan tanpa memikirkan dan menyiapkan bekal di tempat tujuan atau ongkos untuk tempat kembalinya.

Hartanya habis di perjalanan, tak menyisakan untuk bekal di tempat tujuan dan tempat asalnya. Padahal kehidupan sesungguhnya adalah tempat tujuan dan tempat dia berasal.

Orang yang memahami bahwa dunia hanyalah sebuah perjalanan, bahkan hanya tempat transit sementara, tentu yang dia fokuskan adalah penyiapan bekal di tempat tujuan dan tempat dia berasal.

Dia bekerja, berusaha dan mengumpulkan harta bukan untuk kesenangan dunia semata, tetapi untuk sebuah kepentingan dimana semua manusia akan dikembalikan, yaitu kampung akhirat.

Orang yang seperti demikian, jika memiliki sejumlah harta, maka “jatah” untuk akhirat yang didahulukan dan diutamakan, bukan harta dari sisa belanja barang-barang mewahnya. Infaq, Sedekah dan Wakaf akan didahulukan dan diutamakan sebelum keperluan dunia lainnya.

Mari kita renungkan sabda Rasulullah SAW:

“Jadilah kamu di dunia seperti halnya orang asing atau orang yang sekedar numpang lewat/musafir”. (HR. Bukhari)

Apa yang kita cari dan usahakan hingga empot-empotan, pada akhirnya akan kita tinggalkan, kecuali yang kita transfer untuk akhirat.‎

0 komentar:

Posting Komentar

Thanks for your comment ^_^