Di dalam surat at-Takaatsur (surat ke-102), Allah SWT berfirman: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”.
Di ayat ini Allah SWT menggunakan kata "AlHaa" yang dalam bahasa Arab berbentuk masa lampau (past tense). Kata "AlHaa" berasal dari kata "LaHwun" (لهو) yang secara harfiah berarti "Hiburan".
Misalnya dalam ayat:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan hiburan semata” (QS. Al-Hadiid: 20)
Arti lain dari kata "Lahwun" adalah sesuatu yang membuat kita sibuk dan mengalihkan kita dari sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Dan itulah sebenarnya esensi dari "Hiburan".
Hiburan itu esensinya dalah membuang waktu, yang seharusnya digunakan untuk sesuatu yang produktif, tapi malah dihabiskan untuk menghibur diri.
Ketika berubah menjadi kata "ilHaa", maka artinya mengalihkan atau melalaikan, sehingga menjauh dari suatu yang penting kepada sesuatu yang kurang penting.
Maka ada ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan biarkan harta dan anak-anakmu melalaikanmu (menjauhkanmu/mengalihkanmu) dari mengingat Allah” (QS. Al-Munafiqun: 9)
Harusnya, uang dan anak-anak membuat kita lebih mengingat Allah, dan bukan sebaliknya.
Biasanya, ketika kita mendapatkan banyak kemewahan dunia, rumah yang nyaman, kendaraan, baju yang bagus, dan lain-lain, kita mengucap "Alhamdulillah". Itu baik dan memang sudah seharusnya. Tapi harusnya kita juga berkata: "Astaghfirullah, nanti aku juga akan ditanya tentang nikmat-nikmat ini!".
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS. At-Takaatsur/102: 8)
Semakin banyak yang kita punya, semakin banyak kita akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban. Semakin sedikit, tentu akan semakin sedikit pula yang akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban.
Tidak salah punya banyak harta, punya kelebihan nikmat, tapi juga sebaliknya, harus juga siap ditanya dan siap menjawab.
Ada anggapan, bahwa "semakin banyak kemewahan dunia yang kita miliki, itu artinya Allah semakin mencintai kita". Padahal, dunia ini bukan tanda bahwa Allah mencintai kita atau membenci kita. Dunia hanya cobaan, baik untuk yang kaya maupun yang miskin.
Banyak cerita orang yang kaya raya tapi berakhir buruk, Fir’aun misalnya.
Menjadi kaya bukan sesuatu yang buruk, tapi bukan juga sesuatu yang baik, karena ia merupakan cobaan yang berupa nikmat. Dan setiap nikmat yang kita miliki kelak akan dimintai pertanggung-jawabannya.
Semua nikmat yang kita nikmati, mata yang dapat melihat, mulut yang dapat berkata-kata, telinga yang dapat mendengar, kita tidak perlu sebuah aplikasi untuk menggunakannya, kendaraan yang kita gunakan, rumah yang kita tidur di dalamnya, semua itu "Tsumma latus`alunna yawma`idzin ‘anin-na’iim".
Asy-Syaukani memberi definisi tentang "Na’iim", yaitu “Alladzii alhaakum ‘anil a’maalil-aakhirah”, yaitu segala nikmat yang membuat kita lalal untuk urusan akhirat.
Jika kita selalu ingat bahwa semua nikmat akan dimintai pertanggungjawaban, maka kita tidak akan membiarkan nikmat-nikmat itu melalaikan kita, justru membuat kita tetap di jalan-Nya.
Nikmat dari Allah menjadi jalan untuk mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya, karena semua nikmat tersebut bukan milik kita, tapi milik Allah, yang pada akhirnya akan dikembalikan kepada-Nya.
Satu nikmat besar yang kita dapati sekarang ini adalah Allah SWT memberi kita umur panjang sehingga dapat berjumpa dengan Ramadhan. Dan yang tidak kalah besar adalah nikmat bahwa nabi Muhammad SAW adalah nabi kita, dan al-Qur`an sebagai kitab suci kita.
Kesibukan dunia seringkali membuat kita melupakan kedua nikmat ini. Sudah seberapa jauh kita dilalaikan untuk meneladani Rasul dan memahami al-Qur`an?
Semoga kita dapat menggunakan nikmat-nikmat itu dengan sebaik-baiknya. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for your comment ^_^