Senin, 21 Agustus 2017

Rambut dan Kuku Hewan Kurban atau Si Pengurban?

Standard



Hadits tentang larangan memotong rambut dan kaku sejak tanggal 1 Dzulhijjah biasanya menjadi polemik di medsos, karena di dalam matan hadits-hadits tersebut tidak dinyatakan secara jelas, yang dimaksud itu pengurbannya atau hewan kurbannya. Maka sangat berpotensi menimbulkan perbedaan dalam pemahaman.

Sebenarnya selama masing-masing tidak mengklaim pendapatnya yang paling benar, dan yang lain dianggapnya salah, tidak jadi masalah. Namun yang terjadi tidaklah demikian. Misalnya pernah kita dengar dari orang yang berpendapat bahwa larangan tersebut bagi pengurbannya, lalu dia mengatakan:

“kok sempat-sempatnya sih memotong kuku dan rambut/ bulu hewan kurban?" dengan nada sinis.

Maksudnya dia menyalahkan orang yang berpendapat bahwa larangan itu untuk hewan kurbannya. Dia mungkin lupa atau tidak tahu, kalau pernah diberitakan di TV Nasional, ada pedagang besar yang melayani hewan kurban baik sapi maupun kambing dalam jumlah besar.

Hewan-hewan itu dirawatnya dengan baik agar dapat laku dengan harga yang mahal, sehingga untungnya pun juga besar. Bentuk perawatannya misalnya, selalu dijaga kebersihannya, disikat dan dipotong bulu-bulunya agar nampak lebih bagus, dan dipotong kuku-kukunya agar lebih indah dan sehat. Atau mirip-mirip Salon Hewan. Dan ternyata ada orang-orang yang sengaja memotong rambut/ bulu dan kuku hewan kurban.

Mari kita simak bunyi hadits-hadits tentang larangan memotong rambut dan kuku tersebut.

Hadits pertama :

سَمِعْت أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ - رواه مسلم

Aku mendengar Ummu Salamah istri Nabi Saw. berkata: Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan dia sembelih, maka apabila hilal Dzulhijjah telah muncul, hendaklah ia tidak mengambil dari rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun hingga menyembelih kurban" (HR Muslim)

Hadits kedua :

عن أُمِّ سَلَمَةَ تَرْفَعُهُ قَالَ: إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا - رواه مسلم

Dari Ummu Salamah yang (sanadnya) ia sambungkan (ke Rasulullah). Beliau bersabda: "Apabila 10 hari (Dzulhijjah) telah masuk dan seseorang memiliki hewan kurban yang akan ia sembelih, maka hendaklah ia tidak mengambil rambut dan tidak memotong kuku" (HR Muslim)

Dari kedua hadits tersebut, memang cenderung menimbulkan multitafsir, karena tidak menunjukkan ke hewan kurbannya atau pengurbannya.

فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا

hendaklah ia tidak mengambil dari rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun

فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا

hendaklah ia tidak mengambil rambut dan tidak memotong kuku

Hadits ketiga :

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا (رواه مسلم(

Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi Saw bersabda: "Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan salah seorang di antara kalian hendak berkurban, hendaklah ia tidak menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun" (HR Muslim)

Dari hadits tersebut, sebenarnya lebih menunjukkan ke hewan kurbannya daripada ke pengurbannya.

فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

hendaklah ia tidak menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun

Hadits keempat:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ؛ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ، فَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلاَ يَقْرَبَنَّ لَهُ شَعَراً وَلاَ ظُفْراً

"Barangsiapa di antara kalian mendapati awal bulan Dzulhijjah, lalu ia ingin berkurban, maka janganlah ia mendekati (sengaja menyisihkan) rambut dan kukunya."

Dari hadits tersebut, juga cenderung menimbulkan multitafsir, karena tidak menunjukkan ke hewan kurbannya atau pengurbannya.

فَلاَ يَقْرَبَنَّ لَهُ شَعَراً وَلاَ ظُفْراً

janganlah ia mendekati (sengaja menyisihkan) rambut dan kukunya

Ada lagi hadits dari Aisyah :

أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُهْدِى مِنَ الْمَدِيَنةِ. فَأَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْيِهِ. ثُمَّ لاَ يَجْتَنِبُ شَيْئاً مِمَّا يَجْتَنِبُ الْمُحْرِمُ

"Rasulullah membawa hewan kurban dari Madinah, lalu beliau menganyam gantungan hewan kurbannya. Beliau tidak menjauhi sesuatu dari hal-hal yang harus dijauhi oleh orang yang berihram.”

Dari hadits Aisyah tersebut, sebenarnya lebih menunjukkan ke hewan kurbannya daripada ke pengurbannya. Karena Rasulullah jelas-jelas tidak menjauhi hal-hal yang harus dijauhi oleh orang yang sedang ihram. Seperti kita maklumi, hal-hal yang harus dijauhi oleh orang-orang yang ihram, antara lain: memotong kuku, memotong rambut, menikah, berkumpul suami-istri, dan lain-lain.

Akhirnya kembali kepada kita masing-masing, mau meyakini yang mana, apakah lebih condong ke hewan kurbannya atau ke pengurbannya. Yang penting tidak saling menyalahkan yang lain.

Dan Allah telah mengingatkan kepada kita, bahwa Allah sekali-kali tidak melihat fisik kurban kita, tetapi ketakwaan kitalah yang dilihat, dan yang akan mencapai keridhaan Allah.

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

"Daging-daging kurban dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." (QS. Al Hajj: 37)

Selasa, 13 Juni 2017

Memilih Sahabat

Standard

"Mana yang lebih anda sukai, saudara atau sahabat anda?".‎

Sebagian pasti ada yang menjawab saudaranya lebih disukai. Sebagian lagi menjawab, "Kadang-kadang dengan sahabat, kita lebih bisa curhat”.‎

Jawaban yang kedua yang ingin saya bahas dalam Kultum kali ini.‎

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, sahabat bisa berarti "teman", sedangkan sahabat akrab adalah "orang yang begitu dekat kepada kita sampai pada tingkat boleh mengetahui rahasia pribadi."‎

Ada beberapa tingkatan sahabat.

Tingkatan pertama adalah "SHOHIB" yang dalam bahasa Indonesia menjadi “sahabat”. Shohib tidak harus selalu seide dengan kita.

Tingkat yang lebih tinggi adalah "SHODIQ", yang berasal dari kata “shidq” yang artinya "benar” atau “jujur”. Sahabat yang baik adalah mereka yang berkata jujur dan sikapnya akan selalu benar pada kita.

Ada tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu "KHOLIL", yang berasal dari akar kata bermakna “celah”. Maksudnya adalah sahabat yang begitu dekat dengan kita.

Pertemanannya, persahabatannya, dan kasih sayangnya, masuk ke celah-celah kalbu. Dengan kata lain perasaan diantara keduanya sudah sehati, ketika salah satunya sakit, yang lain akan ikut merasakan sakit.

Kholil ibarat melihat diri kita saat bercermin. Contoh Kholil dalam sejarah Islam dapat dijumpai pada dua sahabat Rasul: Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khatthab.

Suatu hari ada orang berkata, “Saya tidak tahu siapa khalifah, siapa kepala negara, apakah engkau wahai Abu Bakar atau Umar?”.

Abu Bakar menjawab, “Saya, tetapi dia”.‎

Selain Shodiq, Shohib, dan Kholil, ada lagi "BITHONAH", yaitu ‎teman terdekat atau orang kepercayaan yang kita beritahu rahasia kita. Bithonah bersinonim dengan kata "Waliy", yaitu orang yang mendekat.

Allah SWT berfirman, "orang yang beriman itu waliy-nya adalah Allah, Rasul, dan orang-orang beriman."‎

Al-Qur`an mengajarkan kita untuk mencari sahabat yang terus menerus bersama kita dan memberi manfaat sampai di hari kemudian. Di dalam surat Az-Zukhruf/43 ayat 67, Allah SWT berfirman:

‎ٱلْأَخِلَّآءُ يَوْمَئِذٍۭ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا ٱلْمُتَّقِينَ
‏‎‏
‎Menurut ayat ini, semua sahabat pada hari kemudian akan bermusuhan kecuali sahabat yang dijalin berdasarkan ketakwaan kepada Allah.

Ada beberapa kriteria orang yang layak dijadikan sahabat.

Pertama, lihat terlebih dahulu apakah dia baik kepada keluarga dan orang tuanya. Jika ia durhaka jangan jadikan ia sahabat.‎

Kedua, lihat bagaimana sikapnya terhadap materi.

Ketiga, lihat bagaimana aktivitasnya sehari-hari.‎

Keempat, lihat bagaimana reaksinya jika anda salah. Apakah ia menasehati anda? Jika tidak, ia tak bisa menjadi sahabat.‎

Kelima, lihat keakrabannya dengan anda. Persahabatan itu harus seimbang, tidak boleh ada yang merasa lebih tinggi atau lebih baik.‎

Bagian akhir pada ayat terakhir dari surat Al 'Ashr adalah:

وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Saya menjabarkannya: "Mereka saling mendorong, saling melarang, saling mengingatkan, saling menasehati, saling menyarankan satu sama lain, dan setara dalam saling menasehati itu".‎

Kata "Tawaashaa" berarti setara dalam menasehati. Berbeda dengan kata "Shaawuu", yang berarti salah satunya mendominasi yang lain.‎

Kata "Tawaashaa" berarti berdiri sejajar. "Aku tak lebih baik darimu dan kamu pun tak lebih baik dariku, dan kita saling menasehati".‎

Teman yang baik adalah ia yang menegur kita:

"Bro, kemarin aku ga lihat kamu sholat Isya dan Tarawih di masjid. Kamu kemana? Kamu gak apa-apa kan?".‎

"Aku ga lihat kamu beberapa hari ini, kamu kemana? Aku mengkhawatirkanmu".‎

Itulah "Tawaashaw bil-haqq", saling mengingatkan tujuan kita di dunia ini. Bagaimana seharusnya kita dapat hidup dengan baik tanpa melupakan tujuan hidup di dunia.‎

Semoga kita semua mendapat teman yang baik. Semoga Allah SWT membantu kita melawan godaan yang datang dan menjadikan kita manusia yang lebih baik. Dan semoga pada akhirnya, kita juga bisa membuat orang lain menjadi dekat dengan Allah karena kita.

Itulah yang semestinya dilakukan, menjadi orang yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, bukan dengan cara menambah musuh.

Memperbanyak Doa‎

Standard



Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Ada tiga (kelompok) orang yang sekali-kali tidak akan ditolak doanya oleh Allah SWT. Pertama, orang yang sedang berpuasa. Kedua, Kepala Negara yang adil. Dan Ketiga, orang yang teraniaya." (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan keistimewaan berdoa pada bulan suci Ramadhan.

Kata DOA sering disebut dalam al-Qur`an dengan makna yang beraneka ragam. Doa, misalnya, bisa berarti istighatsah (memohon bantuan dan pertolongan), permintaan, percakapan, memanggil dan memuji.‎

Lebih tegas Nabi SAW menjelaskan, "Doa itu ruhnya ibadah, inti dari ibadah”.‎ (HR. Tirmidzi)

Pada surat al-Baqarah ayat ke-186, setelah dijelaskan tentang kewajiban puasa dan merayakan Ramadhan dengan membaca al-Qur`an, Allah SWT mengundang hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya.

‎"Dan ketika ada hamba-Ku yang bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku akan mengabulkan permohonan hamba-Ku ketika ia bermohon kepada-Ku. Maka hendaklah ia berusaha mematuhi segala perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapatkan petunjuk kebenaran".‎

Inilah janji Allah yang akan mengabulkan doa hamba-Nya yang benar-benar bermohon kepada-Nya. Disini ada syarat agar doa dikabulkan, yaitu:

1. Falyastajiibuu-lii, hendaknya berusaha untuk melaksanakan perintah Allah dan berusaha pula menjauhi larangan-Nya.

2. Walyu`minuu-bii, hendaklah yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa dengan cara dan dalam bentuk yang terbaik.

Karena belum tentu apa yang kita anggap baik, baik pula menurut Allah, dan sebaliknya, apa yang kita tidak sukai, belum tentu tidak baik untuk kita. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Syeikh Abdul Qadir Jailani pernah menulis, "‎Jangan salahkan Allah SWT bila doa tak dikabulkan, dan jangan menggerutu atau jemu.‎

Jika anda memohon tibanya cahaya siang pada saat kian melekatnya kegelapan malam, maka penantian anda akan lama, karena ketika itu kepekatan akan meningkat hingga terbitnya fajar.‎

Tetapi yakinlah bahwa fajar pasti menyingsing, baik anda kehendaki atau tidak. Jika anda menghendaki kembalinya malam pada saat itu, maks doa anda tidak akan dikabulkan, karena anda meminta sesuatu yang tak layak, dan anda akan dibiarkannya meratap, lunglai, jemu dan enggan.‎

Tetapi, anda salah bila jemu berdoa, karena "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan". (QS. 94: 5-6)

Itu terjemahan ayatnya, tafsirannya adalah: "Sesaat setelah datangnya satu kesulitan pasti akan disusul oleh dua kemudahan".‎

Karena itu, tetaplah yakin bahwa "dalam genggaman tangan-Nya terdapat segala kebajikan".‎

Bila apa yang dimohonkan tak diperoleh dengan segera, anda tak akan rugi. Seorang ulama yang bernama Yazid ar-Roqrosyi bercerita:

Di akhirat nanti, ada seorang hamba yang terheran-heran melihat ganjaran pahala yang ia dapat, yang ia sendiri merasa tidak pernah melakukannya sewaktu hidup di dunia. Saat itu ada suara yang mengatakan: "Itulah ganjaran atas doa-doamu yang belum dikabulkan sewaktu di dunia".

Beliau melanjutkan:
"Andaisaja manusia tahu bahwa ganjaran doanya lebih besar di akhirat, maka niscaya mereka akan berharap semua doa-doanya dikabulkan di akhirat saja.

Tujuan puasa adalah agar kita menjadi pribadi yang lebih bertakwa (la'allakum tattaquun).‎

Tujuan adanya Ramadhan setiap tahun agar kita menjadi pribadi yang lebih bersyukur (la'allakum tasykuruun).

‎Dan tujuan dari Doa adalah agar kita senantiasa mendapatkan petunjuk dan bimbingan dalam kebenaran (la'allahum yarsyuduun)‎

Jadi, jangan putus asa dalam berdoa, sebab Allah SWT berjanji akan mengabulkan doa dan permohonan hamba-Nya, selama hamba-Nya berdoa dengan sungguh-sungguh.
  
"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu" (QS. 40: 60)

Bermegah-megahan Telah Melalaikanmu

Standard



Di dalam surat at-Takaatsur (surat ke-102), Allah SWT berfirman: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”.‎

Di ayat ini Allah SWT menggunakan kata "AlHaa" yang dalam bahasa Arab berbentuk masa lampau (past tense). Kata "AlHaa" berasal dari kata "LaHwun" (لهو) yang secara harfiah berarti "Hiburan".

Misalnya dalam ayat:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ

“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan hiburan semata” (QS. Al-Hadiid: 20)

Arti lain dari kata "Lahwun" adalah sesuatu yang membuat kita sibuk dan mengalihkan kita dari sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Dan itulah sebenarnya esensi dari "Hiburan".

Hiburan itu esensinya dalah membuang waktu, yang seharusnya digunakan untuk sesuatu yang produktif, tapi malah dihabiskan untuk menghibur diri.‎

Ketika berubah menjadi kata "ilHaa", maka artinya mengalihkan atau melalaikan, sehingga menjauh dari suatu yang penting kepada sesuatu yang kurang penting.

Maka ada ayat:

“Wahai orang-orang yang beriman, jangan biarkan harta dan anak-anakmu melalaikanmu (menjauhkanmu/mengalihkanmu) dari mengingat Allah” (QS. Al-Munafiqun: 9)

Harusnya, uang dan anak-anak membuat kita lebih mengingat Allah, dan bukan sebaliknya.

Biasanya, ketika kita mendapatkan banyak kemewahan dunia, rumah yang nyaman, kendaraan, baju yang bagus, dan lain-lain, kita mengucap "Alhamdulillah". Itu baik dan memang sudah seharusnya. Tapi harusnya kita juga berkata: "Astaghfirullah, nanti aku juga akan ditanya tentang nikmat-nikmat ini!".

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS. At-Takaatsur/102: 8)

Semakin banyak yang kita punya, semakin banyak kita akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban. Semakin sedikit, tentu akan semakin sedikit pula yang akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban.

Tidak salah punya banyak harta, punya kelebihan nikmat, tapi juga sebaliknya, harus juga siap ditanya dan siap menjawab.

Ada anggapan, bahwa "semakin banyak kemewahan dunia yang kita miliki, itu artinya Allah semakin mencintai kita". Padahal, dunia ini bukan tanda bahwa Allah mencintai kita atau membenci kita. Dunia hanya cobaan, baik untuk yang kaya maupun yang miskin.

Banyak cerita orang yang kaya raya tapi berakhir buruk, Fir’aun misalnya.

Menjadi kaya bukan sesuatu yang buruk, tapi bukan juga sesuatu yang baik, karena ia merupakan cobaan yang berupa nikmat. Dan setiap nikmat yang kita miliki kelak akan dimintai pertanggung-jawabannya.

Semua nikmat yang kita nikmati, mata yang dapat melihat, mulut yang dapat berkata-kata, telinga yang dapat mendengar, kita tidak perlu sebuah aplikasi untuk menggunakannya, kendaraan yang kita gunakan, rumah yang kita tidur di dalamnya, semua itu "Tsumma latus`alunna yawma`idzin ‘anin-na’iim".‎

Asy-Syaukani memberi definisi tentang "Na’iim", yaitu “Alladzii alhaakum ‘anil a’maalil-aakhirah”, yaitu segala nikmat yang membuat kita lalal untuk urusan akhirat.

Jika kita selalu ingat bahwa semua nikmat akan dimintai pertanggungjawaban, maka kita tidak akan membiarkan nikmat-nikmat itu melalaikan kita, justru membuat kita tetap di jalan-Nya.

Nikmat dari Allah menjadi jalan untuk mengingat-Nya dan bersyukur kepada-Nya, karena semua nikmat tersebut bukan milik kita, tapi milik Allah, yang pada akhirnya akan dikembalikan kepada-Nya.

Satu nikmat besar yang kita dapati sekarang ini adalah Allah SWT memberi kita umur panjang sehingga dapat berjumpa dengan Ramadhan. Dan yang tidak kalah besar adalah nikmat bahwa nabi Muhammad SAW adalah nabi kita, dan al-Qur`an sebagai kitab suci kita.

Kesibukan dunia seringkali membuat kita melupakan kedua nikmat ini. Sudah seberapa jauh kita dilalaikan untuk meneladani Rasul dan memahami al-Qur`an?

Semoga kita dapat menggunakan nikmat-nikmat itu dengan sebaik-baiknya. Aamiin.

Riya`

Standard

Setan tidak henti-hentinya memalingkan dan menjauhkan manusia dari keikhlasan. Salah satunya adalah melalui pintu Riya` yang banyak tidak disadari oleh manusia.

Riya` adalah seseorang melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya.

Termasuk dalam definisi Riya` adalah Sum’ah, yaitu melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang dilakukan, sehingga pujian dan ketenaran pun datang.

Para sahabat adalah generasi terbaik. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Rasulullah SAW masih mengkhawatirkan Riya` menimpa mereka.

Beliau bersabda:

“Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik ashghar". Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: Riya`" (HR. Ahmad)

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:

"Maukah kuberitahukan kepadamu tentang sesuatu yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Almasih Ad-Dajjal?".

Para sahabat berkata, “Tentu, ya Rasulullah”.

Beliau bersabda: “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika seseorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya". (HR. Ahmad)

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa Riya` termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena Riya` terkait dengan niat yang merupakan amalan hati yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Tidak ada yang mengetahui niat dan maksud seseorang kecuali Allah semata.

Cobalah renungkan setiap amalan kita, sudahkah terbebas dari maksud duniawi?

Sudahkah semuanya murni ikhlas karena Allah SWT?

Jangan sampai ibadah yang dilakukan siang dan malam menjadi sia-sia.

Jangan sampai uang yang cukup banyak dikeluarkan menjadi sia-sia.

Ada sebuah kisah yang bisa dijadikan ilustrasi...

Seorang kaya raya suatu kali mampir di sebuah masjid untuk sholat Ashar. Masjid tersebut cukup besar tapi belum rampung, masih dalam proses pembangunan.

Setelah sholat, ia menghubungi panitia dan bertanya: "Butuh dana berapa lagi untuk menyelesaikan masjid ini?".

Panitia menjawab: "Masih butuh sekitar 300 juta pak!".

"Baik..", kata si orang kaya, "Besok saya transfer 300 juta, tolong digunakan untuk menyelesaikan masjid ini".

Panitia pun gembira karena tanpa diduga ada seorang dermawan yang menyumbang ke masjid tersebut.

Singkat cerita, selesailah masjid tersebut dengan megah dan indah.

Dua tahun kemudian, tanpa sengaja, si orang kaya tadi mampir lagi ke masjid itu untuk sholat Ashar. Kali ini bersama supirnya.

Selesai sholat, supirnya berkata: "Wah.. megah sekali masjid ini ya pak.. indah sekali... Nyaman! Masya Allah.."

Tuannya berkata: "Iya.. masjid ini memang megah, masjid ini memang indah. Tapi, kalau dua tahun lalu saya tidak sumbang 300 juta, masjid ini mungkin belum selesai sampai saat ini. Untung, dua tahun lalu saya sumbang 300 juta, sehingga masjid ini sekarang menjadi megah dan indah".

Apa yang terjadi?

Malaikat yang sedang mengawasinya menghapus dan mencoret pahala amal kebaikan yang dilakukannya dua tahun lalu. Nol di sisi Allah!

Kenapa?!
Karena ada unsur Riya` di dalam hatinya.

Riya` menghapus pahala amal kebaikan yang dilakukan seseorang, Nol di sisi Allah. Yang didapat hanya cape. Karena sy‎arat utama suatu amal diterima oleh Allah, selain ibadah tersebut sesuai dengan tuntunan syari'at, adalah ikhlas. Tanpanya, amalan seseorang akan sia-sia belaka.

Ikhlas memang satu amalan yang berat. Urusan niat dalam hati bukanlah hal yang mudah. Tidaklah salah jika Sufyan ats-Tsauri berkata:

"Tidaklah aku berusaha untuk membenahi sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik".

Ibnu Qayyim al-Jauzi juga pernah berkata:

"Amal ibadah yang dilakukan dengan Riya`, bukan ikhlas karena Allah, bagaikan seorang musafir yang berjalan di padang pasir dalam terik matahari yang panas, tapi bekal yang dibawa olehnya adalah sekarung pasir, memberatkannya tapi tidak bermanfaat bagi dirinya".

Mari luruskan niat, jangan sampai terbersit rasa Riya` di hati saat melakukan suatu ibadah. Amal ibadah apapun, cukup menjadi rahasia antara kita dan Allah. Tidak perlu orang lain tahu, karena hal tersebut sangat mungkin memunculkan rasa Riya` di hati.‎

Hiduplah Seperti Seorang Musafir

Standard


Pernah menjadi seorang musafir? Kemungkinan besar kita semua pernah menjadi musafir. Singkatnya, musafir itu orang yang menempuh suatu perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain.

Ketika kita berniat melakukan safar (perjalanan) menunaikan ibadah umrah misalnya, tentunya kita sudah mengetahui tempat tujuannya. Sebelum berangkat pun, pasti kita sudah menyiapkan segala sesuatunya. Selain utamanya kesiapan ruhiyah, hal yang cukup penting tentunya memilih travel yang terpercaya.

Kita berani membayar mahal untuk memastikan agar segalanya lancar. Mulai dari yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah, transportasi, akomodasi hingga konsumsi, agar berjalan dan tersedia dengan baik.

Hal berikutnya tentu perbekalan yang cukup. Bekal yang cukup ini sangat penting, mengingat jika kita kekurangan bekal, sengsara sudah di depan mata.

Bagi seorang musafir, tentu dia tidak akan menjadikan perjalanannya sebagai tujuan. Senyaman dan seindah apapun perjalanan, bagi seorang musafir perjalanan tetaplah perjalanan, tak ada orang yang betah selamanya di dalam perjalanan hingga lupa tujuan.

Pernah lihat musafir bawa kulkas selama perjalanan? Bawa lemari atau mesin cuci selama perjalanan? Pasti belum pernah kan? Musafir itu paling juga bawa ransel atau kantong yang cukup, hanya membawa kebutuhan selama perjalanan, itu saja, tidak lebih!‎

Bagi orang yang melakukan perjalanan umrah, waktu perjalanan hanya sekitar 9-10 hari. Sehingga yang diperlukan cukup menyewa hotel saja, tak perlu hingga membeli rumah atau apartemen.

Dalam kehidupan nyata saat ini, ternyata banyak orang yang lupa. Mereka menganggap dunia ini adalah tujuan akhir, atau kehidupan yang sesungguhnya. Sehingga mereka rela melakukan apapun untuk mendapatkannya, menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, bukan untuk menggapai akhirat, tetapi mencari dunia untuk kesenangan dunia.

Bukan berarti bahwa kita tidak boleh mencari banyak harta, justru harus!! Tapi jangan sampai energi, perhatian dan harta kekayaan tersebut lebih banyak dihabiskan untuk kesenangan dunia, karena itu ibarat seorang musafir yang lebih memikirkan kesenangan di perjalanan tanpa memikirkan dan menyiapkan bekal di tempat tujuan atau ongkos untuk tempat kembalinya.

Hartanya habis di perjalanan, tak menyisakan untuk bekal di tempat tujuan dan tempat asalnya. Padahal kehidupan sesungguhnya adalah tempat tujuan dan tempat dia berasal.

Orang yang memahami bahwa dunia hanyalah sebuah perjalanan, bahkan hanya tempat transit sementara, tentu yang dia fokuskan adalah penyiapan bekal di tempat tujuan dan tempat dia berasal.

Dia bekerja, berusaha dan mengumpulkan harta bukan untuk kesenangan dunia semata, tetapi untuk sebuah kepentingan dimana semua manusia akan dikembalikan, yaitu kampung akhirat.

Orang yang seperti demikian, jika memiliki sejumlah harta, maka “jatah” untuk akhirat yang didahulukan dan diutamakan, bukan harta dari sisa belanja barang-barang mewahnya. Infaq, Sedekah dan Wakaf akan didahulukan dan diutamakan sebelum keperluan dunia lainnya.

Mari kita renungkan sabda Rasulullah SAW:

“Jadilah kamu di dunia seperti halnya orang asing atau orang yang sekedar numpang lewat/musafir”. (HR. Bukhari)

Apa yang kita cari dan usahakan hingga empot-empotan, pada akhirnya akan kita tinggalkan, kecuali yang kita transfer untuk akhirat.‎

Jadilah Pribadi Yang Tenang, Bijak dan Bersahaja

Standard






Seseorang tak akan pernah sampai pada hakikat iman sampai dia meninggalkan kebiasaan berdebat meski dia benar.

Pada dasarnya, keharusan kita adalah mempercayai sesuatu yang kita baca atau dengar jika itu benar, dan terlebih dahulu diam jika mendengar sesuatu yang salah, menyimaknya baik-baik, sebelum meluruskannya dengan diskusi yang santun.

Inti dari poin ini adalah kita tidak meneruskan suatu perdebatan meski kita benar. Sebab debat, terlebih yang sengit, maka nafsulah yang bermain di dalamnya, dan tanda terbesar dari itu adalah amarah yang menguasai serta usaha untuk menjatuhkan lawan bicara.

Orang yang mempunyai pemikiran besar selalu menyibukkan diri dan menghabiskan waktu untuk membicarakan ide dan target.

Sedang orang yang berpikiran sederhana biasa-biasa saja menghabiskan waktu membicarakan orang.

Adapun orang yang berpikiran kecil menyibukkan dirinya dengan membicarakan hal yang remeh temeh.

Belajarlah untuk menerima keadaan yang sulit kita ubah, dan konsentrasikan diri terhadap sesuatu sehingga kita dapat memberikan pengaruh positif dalam hal itu.

Misalnya membicarakan politik Amerika, itu tidak banyak manfaat bagi kita. Atau berdebat soal perkara-perkara furu'iyah dalam agama, itu juga tidak banyak manfaat bagi kita. Hanya semakin membuktikan betapa bodohnya kita, betapa tidak luasnya wawasan kita, seperti katak dalam tempurung atau bagai orang yang terlambat lahir.

Dua hal yang banyak membuat kita menjadi lebih bijak dalam menyikapi hidup adalah banyak membaca, menjadikan jiwa kita berjiwa Iqro' dan mengambil pelajaran kehidupan dari siapapun yang kita temui.

Gunakan kesempatan berpikir untuk menentukan reaksi kita. Jadikan keputusan kita berdasarkan keluasan ilmu, bukan berdasarkan ego, emosi, terlebih nafsu.

Bersama Ramadhan, semoga kita semua menjadi manusia yang memiliki pribadi yang tenang, bijak dan bersahaja.