Selasa, 20 Juli 2021

Ibadah Qoshirah Versus Ibadah Muta’addiyah

Standard


Ada dua kategori ibadah dalam Islam, pertama ibadah Qashirah (ibadah individual) yang pahala dan manfaatnya hanya dirasakan oleh pelaku ibadah saja, dan kedua ibadah Muta’addiyah (ibadah sosial) di mana pahala dan manfaat ibadahnya tidak hanya dirasakah oleh yang bersangkutan tetapi juga oleh orang lain.

Contoh ibadah individual adalah haji, umrah, puasa, shalat, dan sebagainya. Sementara contoh ibadah sosial adalah menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, menolong para korban bencana, merawat alam dan lingkungan, berbuat baik dan kasih sayang kepada sesama, dan lainnya. Semua itu merupakan bentuk-bentuk ibadah sosial yang memberi manfaat atau kemaslahatan kepada masyarakat banyak.

Di masa Pandemi Covid-19 sekarang ini umat Islam dituntut untuk banyak melakukan ibadah muta’addiyah, terutama di moment Idul Adha, di mana kita sangat dianjurkan untuk berkurban.

Bahkan Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam sabdanya, “Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berkurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.”

Jadi, jangan hanya demam ibadah individual, tapi lupa ibadah sosial. Karena “al-muta’addiyah afdholu min al-qashirah”, ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.

Selamat Idul Adha 1442 H

Jumat, 14 Mei 2021

Silaturahmi Manual

Standard


Lebaran ini tak satu pun kartu lebaran saya terima. Bisnis kartu ucapan benar-benar habis ketika era SMS datang. Lalu era SMS kalah oleh Facebook, Instagram, dan Twitter.

Kemenangan jejaring sosial ini pun akhirnya sudah mulai sirna, karena kalah oleh aneka broadcast via WhatsApp dengan segala bentuknya mulai teks, twibbon, banner, video, juga stickers. Dan kemenangan ini pun agaknya juga tak akan lama.

Ucapan Idul Fitri yang dikirim sahabat saya via WA ini adalah indikatornya. Ia sengaja mengirim agak terlambat.

"Ane menunggu agar sampah broadcast mereda," katanya.

Sebutan sampah ini mengejutkan saya. Walaupun sampah, sebetulnya itu ucapan selamat. Tapi, betapapun ucapan selamat, ia mulai dianggap sampah karena tradisi copy paste yang terkenal itu.

Memang benar, karena ucapan yang saya buat dan saya kirim, ternyata terkirim kembali lagi ke saya dngan nama pengirim yang berbeda.

Artinya adalah: ragam silaturahmi akan terus berganti dan berganti. Tetapi, silaturahmi induk akan menetap. Ia akan penuh ujian, tapi tak tergantikan.

Silaturahmi induk itulah yang saya sebut sebagai "silaturahmi manual", bahwa walaupun bentuk pertemuan manusia bisa dibantu peralatan, tapi alat terbaik tetaplah manusia itu sendiri.

Alhamdulillah, silaturrahmi manual ini terus berjalan di keluarga besar saya, baik dari pihak Ibu maupun Ayah. 

Bahkan, meskipun masing-masing kami tidak terlalu mengenal satu persatu, karena saking banyaknya, tapi acara ini selalu diadakan setiap tanggal 2 Syawal sejak lebih dari 35 tahun yang lalu.

Tapi dua tahun belakangan ini silaturahmi manual ini tidak dapat dilaksanakan karena Pandemi Covid 19. Tahun ini silaturahmi manual hanya terbatas orangtua, saya, adik-adik, dan keponakan, tanpa Ayah tercinta. 😥

Sejak kemarin mungkin teman-teman telah menerima banyak ucapan selamat dan permohonan maaf. Semoga masih tersisa untuk saya.

Mohon Maaf Lahir Batin.

-Azharul Fuad Mahfudh-

(#𝓪𝓯_𝓶)

Minggu, 02 Mei 2021

Selamat Hardiknas

Standard


Pintu surga pertama dan terakhir adalah syahadat. Dalam banyak hadits disebutkan:"Barang siapa yang bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, akan masuk surga", dan hadits-hadits lainnya dengan redaksi yang hampir sama.

Pintu selanjutnya setelah syahadat adalah amal sholeh. Amal sholeh apa yang akan menambah timbangan amal kebaikan yang nantinya dapat memasukkan kita ke dalam surga?

Nabi SAW bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain".

Nabi SAW juga menjelaskan bahwa ketika manusia meninggal, akan terputus semua amalnya kecuali tiga perkara, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat yang diajarkan kepada orang lain. Dan itu terus mengalir hingga akhir zaman, selama ilmu yang diajarkannya itu diamalkan oleh orang lain.

Ketika terjadi peperangan melawan kaum kafir, Nabi SAW tidak menyuruh seluruh umat Islam untuk turun ke medan perang, tapi menyuruh sebagian mereka untuk tetap tinggal dengan tugas mengajar al-Qur'an dan ilmu pengetahuan kepada kaum muslimin.

Perhatian Nabi SAW kepada penyebaran ilmu pengetahuan sangatlah besar, sebesar mereka yang berjihad di medan peperangan. Dan ilmu yang diajarkan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir walaupun si pengajar telah meninggal dunia.

Profesi apa yang sejalan dengan itu?

Ia adalah Guru. Guru tidak harus diartikan secara formal yang mengajar di sebuah sekolah, tapi juga bisa diartikan secara non formal. Orang tua yang mengajarkan anak-anaknya adalah guru, Om/tante dapat menjadi guru bagi keponakannya. Begitupun seorang sahabat dapat menjadi guru bagi sahabatnya yang lain.

Saya teringat sebuah esai yang pernah ditulis oleh mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Qomaruddin Hidayat, beliau menukil sebuah hadits yang memaparkan bagaimana mulianya posisi guru. Tulis beliau:

"Di akhirat kelak, ketika pintu surga sudah dibuka dan barisan-barisan semua calon penghuni surga dipersilakan masuk. Tapi tak ada satupun yang bergerak. Barisan calon penghuni surga itu terdiri atas para dermawan, pahlawan, orangtua yang penuh tanggungjawab pada keluarganya, orang yang rajin beribadah dan beramal shalih, dan sekian barisan lain yang amal kebajikannya jauh lebih berat ketimbang dosa-dosanya.

Melihat calon penghuni surga tak segera masuk ke taman surgawi yang sangat indah, malaikat heran dan bingung. Ada gerangan apa ini? Malaikat kemudian mendekati setiap barisan dan bertanya. Malaikat pun tahu penyebabnya.

”Kami tak mau memasuki taman surga sebelum rombongan guru masuk lebih dulu. Kami bisa membedakan baik dan buruk, bisa menjalani hidup dengan baik dan bermakna hingga mengantarkan kami ke surga, semuanya berkat pendidikan guru-guru kami.” 

Setelah barisan guru yang tadinya berdiri di belakang dipersilakan masuk surga, barulah rombongan lain mengikuti di belakangnya".

-- Selamat Hari Pendidikan Nasional -

Sabtu, 01 Mei 2021

Ta'jil

Standard


Teh manis panas dan kurma adalah tradisi buka puasaku. Kadang diselingi lontong dan bakwan, kadang pisang goreng, dan kadang kolak.

Teh serbuk itu sepet-nya pas. Dulu tetanggaku sering mengirimi teh ramuannya sendiri. Tehnya bikin rambut berdiri. Tapi kini tidak lagi. Ia sudah pindah rumah, pergi meninggalkan kami.

Seusai shalat tarawih, baru makan malam. Pepes ikan mas, kerupuk tenggiri, dan minumnya tetap teh manis panas. Ada juga tempe tahu dan sambal goreng. Di Eropa tidak ada. Hanya kita yang punya. Lidah Nusantara. 

Kalau opor ayam tak perlu bikin sendiri. Cukup menunggu kiriman tetangga baik hati. Saatnya akan tiba. Optimis!

Wis.. Gitu aja.. #glek

Jumat, 30 April 2021

Beda Zaman

Standard



Orang sepertiku seukuran dengan zamanku. Jika ditukar ke zaman lalu, tak kuatlah aku. 

✅ Zaman ketika seseorang menulis buku bukan demi seminar, tetapi semata-mata demi ilmu.

✅ Zaman ketika seseorang harus pasang badan agar sahabatnya tak tertebas pedang.

✅ Zaman ketika pemimpin memanggul gandum untuk mendatangi sendiri rakyatnya yang kelaparan.

✅ Zaman yang mengharamkan uap makanan menyiksa yang kelaparan. 

✅ Zaman ketika nasehat begitu melimpah dan perdebatan begitu rendah. Di zaman itu, hanya untuk memburu kebenaran sebuah ucapan, seseorang bisa melintasi batas negara dan bahaya. 

Berbeda dengan sebuah zaman ketika Hoax dan Gossip menjadi hidangan publik.

Zaman ketika memukul bedug sahur jam dua dini hari di depan rumah orang dianggap sebagai ibadah, sampai bayi tetangga rasanya mau melompat dari kandungan. 

Selamat istirahat, semoga rahmat dan kasih sayang Allah SWT senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Aamiin.  (#𝓪𝓯_𝓶)

Selasa, 27 April 2021

Selamat Tinggal Kelaparan

Standard


Semenjak kecil hingga sekarang kita dijejali pemahaman bahwa puasa itu sebentuk _"empati berjama"ah"_ kepada kaum kekurangan. Kita belajar menghayati kelaparan seperti laparnya orang yang tidak punya makanan.

Kita paksa diri kita untuk secara sadar menahan diri dan menjauh dari pengalaman lahiriah dan batiniah kelaparan lebih dari 13 jam.

Pada saat-saat menjelang berbuka, atau bahkan semenjak sore tiba, entah berapa di antara kita yang sibuk menyiapkan segala sesuatu dengan menu yang tidak bisa dibilang sederhana. Semua televisi dan radio, mewartakannya. Tak ketinggalan di dunia maya semisal Facebook.

Kita berbuka dan segera tenggelam dalam perayaan sebuah pesta, hidangan memenuhi meja, bila perlu pinjam meja tetangga untuk menampungnya. Kita seperti memekikkan penegasan: "Selamat Tinggal Kelaparan!!"

Tentu banyak pula yang terus berfikir dan melakukan ibadah dan keshalehan sosial tanpa terjerembab dalam glamour pesta. Terus mengingatkan diri, bahwa di luar sana banyak anak manusia yang berpuasa tanpa diniatkan, tetapi terkondisikan, tanpa diniatkan, tetapi tiada pilihan, tanpa kesadaran, tetapi keharusan.

Mereka berbuka kapan saja, dan seketika, saat menemukan segala apa yang dapat mengganjal perut mereka untuk kemudian segera melanjutkan "puasa" tanpa tahu kapan sahur, kapan imsak, dan entah kapan dapat berbuka.

Lalu dimanakah puasa kita?

Apakah rasa lapar yang sedang kita transmisikan? Ataukah sebentuk keberpihakan yang tidak boleh berkesudahan kepada sebagian di antara kita yang tiada berkesempatan mereguk rizki seperti yang kita nikmati?

Dan empati tadi mungkin sedang tergugu sendiri di pojok sejarah. Ia menangis tanpa airmata. (#𝓪𝓯_𝓶)

Selasa, 20 April 2021

TUKANG ES KELAPA MUDA

Standard

Suatu sore sekitar 10 tahun lalu, saya dan seorang teman mampir di sebuah masjid untuk sholat Ashar. Usai sholat mata kami tertuju ke sebuah warung es kelapa tidak jauh dari masjid. Kami pun mampir dan memesan.

Di sana terlihat seorang pria sedang duduk menikmati es kelapa. Sedang pemilik warung itu adalah sepasang suami-istri. Dari logatnya saya menduga mereka berasal dari Medan.

Tak lama, datanglah seorang bocah berusia kira-kira sekitar 7 tahun. Bocah itu mendekati kedua pemilik warung sambil cium tangan. Bocah itu mengenakan peci putih dan baju koko, sepertinya ia baru selesai mengaji.

Pria yang datang sebelum kami bertanya, "Ini anak bapak?"

Pertanyaan itu dibenarkan oleh penjual es kelapa.

Pria itu lalu menyapa si bocah, "Habis pulang ngaji ya, dek?"

Anak itu mengangguk.

"Ngajinya sudah sampai surat apa?", tanya pria tadi.

"Surat Al-Mulk," jawab anak itu singkat.

Mendengar jawaban bocah itu, saya dan teman mulai tertarik dan pasang telinga, karena anak usia 7 tahun sudah belajar ngaji surat al-Mulk, surat yang ke-67. Pada saat yang sama, saya lihat mimik bangga yang tersirat di wajah kedua orang tuanya yang berpofesi sebagai penjual es kelapa.

Pria tadi bertanya lagi, "Kamu hafal surat A-Mulk?"

Anak itu menjawab dengan anggukan.

"Boleh om test ya?", tanya pria tadi kepada sang bocah. Lagi-lagi si bocah menjawab dengan anggukan.

Pria itu lalu membaca penggalan awal ayat ke 16 dari surat Al-Mulk dan meminta bocah tersebut untuk melanjutkannya. Bocah itu membaca dengan fasih ayat ke-16 :

أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ 

Saya dan teman mulai colek-colekan menikmati tontonan menakjubkan dan gratis ini. Terlihat kedua orangtuanya tidak hanya menikmati, namun ada gurat rasa bangga di wajah mereka.

"Subhanallah, boleh om minta kamu baca satu ayat lagi?!", pinta pria tadi.

Anak itu pun tanpa sungkan membaca ayat lanjutannya. Tatkala ayat ke-17 usai dibaca oleh sang bocah, maka kami semua bertasbih memuji Allah dengan suara yang lebih keras.

Pria itu pun mengeluarkan uang dari sakunya. Ia berujar, "Aku ingin memberi hadiah untukmu sebab kamu sudah hafal surat Al-Mulk."

Pria itu memberi selembar uang pecahan Rp 50.000 kepada si bocah dan ia pun langsung cengengesan kegirangan. Tak lama berselang, pria itu menambahkan pemberiannya. Kali ini ia berikan pecahan Rp 100.000. Dan bocah itupun bertambah girang.

"Kalau anaknya sudah hafal surat Al-Mulk, pasti kedua orangtuanya lebih banyak lagi hafalannya," ujar pria tadi kepada penjual kelapa.

"Hhhuuufff... Boro-boro hafal pak, baca Alquran saja kami berdua tidak bisa," jawab ayah si bocah.

"Insya Allah kalian berdua bisa masuk surga sebab anak kalian menghafal Alquran. Namun saat di surga, mungkin kepala kalian selalu menengadah ke atas, karena surga anak ini pasti jauh lebih tinggi kedudukannya di banding kalian. Bila kalian mau bersama-sama di surga, maka rajinlah membaca dan menghafal Alquran," pria itu menyudahi taushiyah singkatnya.

Kedua orangtua bocah tadi menganggukkan kepala tanda setuju.

Saya dan teman pun bangkit dari duduk untuk membayar es kelapa yang telah kami minum. Pria tadi berkata, "Maaf bapak-bapak, izinkan saya mentraktir kalian berdua. Saya amat bahagia sore ini."

Kami berdua saling pandang lalu kami mengangguk dan berterima kasih kepadanya.

"Berapa semua harga es kelapa ini, pak?", tanya pria tadi kepada bapak penjual.

"Tiga gelas Rp 30.000 saja", jawabnya.

"Wah.. ini luar biasa. Alhamdulillah, harga surat Al-Mulk lebih mahal dari es kelapa. Ini baru benar!", kata pria tadi.

Saya dan teman lalu berpamitan. Saat motor yang kami kendarai meninggalkan warung tadi, Allah SWT izinkan mata ini melihat sebuah pemandangan yang teramat indah. Di sana terlihat ibu-bapak penjual es kelapa tadi tengah membelai kepala anaknya yang telah hafal surat Al-Mulk.

Dalam hati tersirat makna bahwa anak itu telah membuat kedua orangtuanya bangga di hadapan makhluk saat di dunia. Saya yakin, anak itu pun akan membuat bangga kedua orangtuanya di akhirat di hadapan Allah Sang Khalik, sebab hafalan Alquran yang dimilikinya.

Saya pun berdoa dengan gumam dalam hati, "Ya Allah.. muliakanlah aku, keluargaku, dan orangtuaku dengan cahaya Alquran."

Segala puji bagi-Mu, ya Allah atas hadiah tontonan indah sore itu. (#𝓪𝓯_𝓶)