Semenjak kecil hingga sekarang kita dijejali pemahaman bahwa puasa itu sebentuk _"empati berjama"ah"_ kepada kaum kekurangan. Kita belajar menghayati kelaparan seperti laparnya orang yang tidak punya makanan.
Kita paksa diri kita untuk secara sadar menahan diri dan menjauh dari pengalaman lahiriah dan batiniah kelaparan lebih dari 13 jam.
Pada saat-saat menjelang berbuka, atau bahkan semenjak sore tiba, entah berapa di antara kita yang sibuk menyiapkan segala sesuatu dengan menu yang tidak bisa dibilang sederhana. Semua televisi dan radio, mewartakannya. Tak ketinggalan di dunia maya semisal Facebook.
Kita berbuka dan segera tenggelam dalam perayaan sebuah pesta, hidangan memenuhi meja, bila perlu pinjam meja tetangga untuk menampungnya. Kita seperti memekikkan penegasan: "Selamat Tinggal Kelaparan!!"
Tentu banyak pula yang terus berfikir dan melakukan ibadah dan keshalehan sosial tanpa terjerembab dalam glamour pesta. Terus mengingatkan diri, bahwa di luar sana banyak anak manusia yang berpuasa tanpa diniatkan, tetapi terkondisikan, tanpa diniatkan, tetapi tiada pilihan, tanpa kesadaran, tetapi keharusan.
Mereka berbuka kapan saja, dan seketika, saat menemukan segala apa yang dapat mengganjal perut mereka untuk kemudian segera melanjutkan "puasa" tanpa tahu kapan sahur, kapan imsak, dan entah kapan dapat berbuka.
Lalu dimanakah puasa kita?
Apakah rasa lapar yang sedang kita transmisikan? Ataukah sebentuk keberpihakan yang tidak boleh berkesudahan kepada sebagian di antara kita yang tiada berkesempatan mereguk rizki seperti yang kita nikmati?
Dan empati tadi mungkin sedang tergugu sendiri di pojok sejarah. Ia menangis tanpa airmata. (#𝓪𝓯_𝓶)
0 komentar:
Posting Komentar
Thanks for your comment ^_^