KULTUM Hari-3
:: PENGHUNI SURGA ::
Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW duduk di masjid dan berbincang-bincang dengan para sahabatnya. Tiba-tiba beliau bersabda:
“Sebentar lagi seorang penghuni surga akan masuk kemari”.
Semua matapun tertuju ke pintu masjid dan pikiran para hadirin membayangkan seorang yang luar biasa. “Penghuni surga… penghuni surga…”, demikian gumam mereka.
Beberapa saat kemudian, masuklah seseorang dengan air wudhu yang masih membasahi wajahnya dan dengan tangan menjinjing sepasang alas kaki. Apa gerangan keistimewaan orang itu sehingga mendapat jaminan surga? Tidak seorangpun yang berani bertanya walau seluruh hadirin merindukan jawabannya.
Keesokan harinya, peristiwa di atas terulang kembali. Ucapan Nabi dan “si penghuni” surga dengan keadaan yang sama semuanya terulang, bahkan pada hari ketiga pun terjadi hal yang demikian.
Seorang sahabat yang bernama Abdullah ibnu ‘Amr tidak tahan lagi, meskipun ia tidak berani bertanya dan khawatir jangan sampai ia mendapat jawaban yang tidak memuaskannya. Maka timbullah sesuatu dalam benaknya. Dia mendatangi si penghuni surga sambil berkata:
“Saudaraku.. telah terjadi kesalahpahaman antara aku dan orang tuaku, dapatkah aku menumpang di rumahmu selama tiga hari?”
“Tentu, tentu…”, jawab si penghuni surga.
Rupanya, Abdullah bermaksud ingin melihat secara langsung “amalan” si penghuni surga.
Tiga hari tiga malam ia memperhatikan, mengamati bahkan mengintip si penghuni surga, tetapi tidak ada sesuatu pun yang istimewa. Tidak ada ibadah khusus yang dilakukan si penghuni surga. Tidak ada shalat malam, tidak pula puasa sunnah. Ia bahkan tidur dengan nyenyaknya hingga beberapa saat sebelum fajar. Memang sesekali ia terbangun dan ketika itu terdengar ia menyebut nama Allah di pembaringannya, tetapi sejenak saja dan tidurnya pun berlanjut.
Pada siang hari si penghuni surga bekerja dengan tekun. Ia ke pasar, sebagaimana halnya semua orang yang ke pasar.
“Pasti ada sesuatu yang disembunyikan atau yang tak sempat kulihat. Aku harus berterus terang kepadanya”, demikian pikir Abdullah.
“Apakah yang engkau perbuat sehingga engkau mendapat jaminan surga dari Rasululllah?”, tanya Abdullah.
“Ya.. seperti yang engkau lihat itulah..”, jawab si penghuni surga.
Dengan kecewa Abdullah bermaksud kembali saja ke rumah. Tapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh si penghuni surga seraya berkata:
“Apa yang engkau lihat itulah yang aku lakukan, ditambah sedikit lagi, yaitu bahwa aku tidak pernah merasa iri hati terhadap seseorang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, dan tidak pernah pula aku melakukan penipuan dalam segala aktivitasku”.
Dengan menundukkan kepala, Abdullah meninggalkan si penghuni surga sambil berkata: “Rupanya, yang demikian itulah yang menjadikan engkau mendapat jaminan surga”.
Saudaraku sekalian…
Untuk menjadi penghuni surga ternyata, menurut Nabi SAW, tidak cukup hanya sekedar menjalankan ritual ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dll. Dari kisah di atas, ada dua hal yang dapat menjadikan seseorang menjadi penghuni surga, yaitu:
1— TIDAK IRI HATI (DENGKI) TERHADAP SESEORANG YANG DIANUGERAHI NIKMAT OLEH ALLAH.
Iri hati (dengki) dalam bahasa agama dinamakan HASAD. Nabi SAW memperingatkan umatnya dalam sebuah hadits:
“Hendaklah kalian menjauhi sifat HASAD, karena sesungguhnya sifat HASAD akan ‘memakan’ amal kebaikan seperti halnya api ‘memakan’ kayu bakar”.
Di akhirat nanti, ada golongan yang disebut oleh Nabi SAW dengan "MUFLIS". Suatu ketika Nabi SAW pernah bertanya:
“Atadruuna mal muflis? — Tahukah kalian apa itu bangkrut?”
Ada sahabat yang menjawab: “Bangkrut adalah dimana seorang pedagang yang rugi karena modalnya tidak kembali”.
Nabi SAW menggelengkan kepalanya, kemudian menjelaskan:
“Muflis (bangkrut) adalah dimana seseorang rajin beribadah, ia melakukan sholat, puasa, zakat, namun disisi lain ia juga menghina, melakukan ghibah (gossip), memfitnah, mengadu domba dan menyakiti hati saudaranya. Pada saat dia akan dimasukkan ke dalam surga, orang yang pernah difitnah memprotes kepada Allah: ‘Ya Allah, dahulu waktu di dunia ia telah memfitnahku’, kemudian sebagai gantinya, Allah SWT mengambil amal kebaikannya dan menyerahkannya kepada orang yang telah difitnahnya.
Kemudian datang lagi orang lain mengadukan hal yang sama, dan kemudian Allah SWT mengambil amal kebaikannya sebagai gantinya. Demikian seterusnya, sehingga amal kebaikannya habis, namun masih banyak orang yang pernah ia fitnah, ia hina atau ia sakiti. Karena amal kebaikannya sudah habis, maka dosa orang yang difitnah, dihina atau disakiti itu diberikan kepadanya. Sehingga timbangan dosanya lebih besar daripada timbangan pahalanya, dan akhirnya dimasukkan ke dalam neraka".
Na’udzubillah…
Saudaraku…
Keshalehan seseorang itu bukan hanya diukur dari banyaknya amal ibadah “mahdhoh” yang ia lakukan, tapi juga diukur sejauh mana sikapnya terhadap orang lain. Mungkin banyak diantara kita yang rajin sholat, puasa, zakat, dll, tapi kita juga seringkali menyakiti hati orang lain, menyakiti hati tetangga, menghina, memfitnah, ghibah, dll.
Padahal kata Nabi SAW: “Tidak! demi Allah tidak beriman… tidak! demi Allah tidak beriman… tidak! demi Allah tidak beriman!".
Para sahabat bertanya: "Siapakah itu wahai Rasulullah?".
Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhari)
Hubungan “vertikal” seseorang juga ditentukan oleh sejauh mana hubungan “horizontal”nya.
2— TIDAK MELAKUKAN PENIPUAN (DUSTA/BOHONG) DALAM SEGALA AKTIVITAS KEHIDUPAN.
Nabi SAW pernah menjelaskan kepada seseorang yang bertanya tentang Islam. Nabi SAW menjawab: “Islam adalah meninggalkan bohong (dusta)".
Bohong/dusta juga termasuk salah satu kejahatan lisan selain ghibah. Bohong/dusta seringkali menghiasi obrolan kita. Rasanya belum “sedap” jika obrolan kita dengan orang belum dihiasi dengan kebohongan.
Bohong/dusta dapat mengarahkan seseorang kepada sifat khianat, yang merupakan salah satu sifat orang munafik.
Di bulan Ramadhan ini, seperti apa yang dijelaskan oleh Iman al-Ghozali mengenai sifat puasa "khusus bil khusus", adalah bukan hanya sekedar menahan lapar, haus dan hubungan sex semata, tapi juga mempuasakan semua panca indera dan hati kita, termasuk lisan, untuk tidak melakukan maksiat.
Iri hati dan dusta adalah dua penyakit yang sangat berbahaya bagi kita. Hendaknya kita dapat menjauhi kedua sifat tersebut, agar kita (insya Allah) bisa mendapatkan predikat sebagai “Penghuni Surga".
Amin ya robbal ‘aalamin..
Wallahu a’lam…
____________
::
#af_m
Like ♡ Share
Twitter: @azharulfuad
Syukron yaa Ustadz
BalasHapus'afwan bu guru
HapusTerima kasih Pak Ust...
BalasHapusMasama, bu guru
HapusSyukron ka..
BalasHapus❤️
Hapus