Selain menikmati mengisi kuliah subuh, kesukaan saya adalah melihat jama'ah sholat subuh di masjid tempat saya mengisi pengajian.
Pertama, secara rata-rata jumlahnya paling dua-tiga shaft saja. Kedua, isinya hampir seluruhnya para manula. Ketiga, hampir setengah dari jama'ah itu adalah pihak yang sedang berperang dengan kantuknya.
Semakin lama saya semakin terampil mendeteksi mana yang menunduk karena khusu' mendengarkan tausiyah, dan mana yang menunduk karena kantuk. Jika menunduk sambil tetap ganteng, itulah khusu'. Jika hanya setengah ganteng, itulah setengah khusu', dan sisanya adalah kantuk.
Jika bibirnya mulai terbuka dan bungkuknya semakin dalam, bisa dipastikan seluruh orang ini sudah berisi kantuk. Hanya keberuntungan saja yang membuatnya masih terlihat seolah-olah duduk. Padahal goyahnya keseimbangannya hanya soal waktu. Terbukti, saat kuliah subuh bubar, orang ini masih terus khusu' di situ.
Tetapi, apapun keadaan mereka, tak mengurangi kekaguman saya pada wajah-wajah payah itu. Orang-orang ini dengan mata dan langkah berat, tetapi tetap semangat sholat subuh berjama'ah di masjid. Maka, menikmati kantuk mereka sungguh tergambar beratnya "Perang Badar" versi baru yang masih berlangsung sekarang ini.
Perang manusia terhadap kantuk adalah perang yang tidak pernah usai sampai hari ini. Maka mari kita lihat sejarah orang-orang besar itu. Satu tandanya yang jelas, mereka adalah orang-orang yang tidur sangat sedikit, terutama di jadwal tidur. Di saat orang-orang berangkat tidur, mereka belum tidur. Di saat orang-orang masih tertidur mereka sudah bangun tidur.
Najwa Shihab pernah menceritakan tentang resep mengapa Abinya, Quraish Shihab, di usianya yang sepuh masih tampak sehat dan produktif. Najwa menceritakan bagaimana Abinya itu selalu disiplin menulis setelah subuh.
Disiplin ini pasti tak sendiri. Menulis setelah subuh itu pasti didahului oleh sholat subuh. Sholat subuh ini pasti juga tak sendiri, ia pasti didahului oleh bangun sebelum subuh. Jika bangun itu masih jauh dari subuh, agak sulit membayangkan seorang alim tak melakukan sholat malam.
Ramadhan tahun ini saya beriniat akan kembali membuka Tafsir Al Misbah dan Tafsir Ibnu Katsir. Sulit sekali membayangkan kitab-kitab ini ditulis tidak di keheningan. Dan sulit membayangkan ada keheningan bisa dengan mudah ditemukan di luar sepertiga malam.
Anda bisa menambahkan deretan sangat panjang para ulama dengan kebesaran dan keluhuran mereka yang semua ternyata juga nyaris tak terpisahkan dari karena sedikitnya mereka tidur malam.
Keberkahan sebuah negara, agaknya erat hubungannya dengan ketabahan warganya di hadapan kantuk mereka. (#af_m)